Salman Web

Bagaimana Cintaku yang Ketiga mengubah Mindsetku tentang Cinta

Aku pernah jatuh cinta sama temanku, dan selama tiga tahun tidak bisa move on. Dia adalah orang ketiga yang aku jatuh cintai, dan selama itu juga aku tidak pernah menyatakan perasaanku ke dia.

Waktu itu aku masih SMP, dan sedang sibuk belajar di kelas. Tiba-tiba ada anak baru datang masuk ke kelas. Guru pun mempersilahkan dia untuk memperkenalkan diri. "Hai semua, nama aku Nas." Kata gadis itu dengan semangat. Dia mengenakan kerudung merah panjang berwarna merah gelap, dengan baju rangkap rok berwarna merah dan berenda. Wajahnya bulat, matanya sipit dengan alis yang lentik, kulitnya sawo muda dan tampak halus. Setelah gadis itu memperkenalkan diri, kami pun bergiliran memperkenalkan diri juga.

Tiga bulan pertama aku merasa biasa saja dengannya. Nas itu cantik, tapi ya sudah segitu saja. Tapi lama-lama ada yang aneh dengan perasaan aku. Perlahan-lahan rasa malu meliputi hati aku ketika bicara dengannya. Rasa cemburu juga menggerogoti hatiku ketika ia berbicara dengan lelaki yang lain sambil bercanda tawa. Itu pertama kalinya aku benar-benar merasa jatuh cinta. Jujur, aku benci banget sama perasaan ini.

Dulu aku beranggapan, perasaan cinta monyet ini berpotensi merusak pertemanan aku dengan Nas. Aku jadi tidak bisa ngobrol lepas dengannya. Setiap aku berdialog, setiap itu pula perasaanku menari nari. Saat itu aku sering berusaha untuk "membunuh" perasaan tersebut, dengan cara mendengarkan lagu keras-keras, menjauhi Nas, bahkan sampai membenci dia. Semua itu kulakukan agar perasaan cinta tidak muncul. Tapi ternyata, semakin ditekan, semakin tumbuh perasaan itu. Ia tidak menghilang begitu saja. Hingga paling "parahnya" Nas masuk kedalam mimpiku hingga seminggu lamanya. Tidak kuat memendam perasaan ini dan habis cara, akhirnya aku bercerita ke orang tua.

"Ayah, kaka bingung bagaimana cara hadepin perasaan ini" Aku memulai percakapan ketika sedang berdua di ruang keluarga. "Kakak teh suka sama seseorang dari sekolah. Kakak gak suka dengan perasaan ini. Rasanya hanya mengganggu pertemanan kakak dengan dirinya" Lanjut ku sambil mengaduk teh yang baru saja kutambahi gula. "Kakak gak mau perasaan ini ada lagi, Ayah. Tapi kakak gak tahu cara ngilanginnya" "Ayah ada saran gak, biar kakak bisa gak suka lagi sama dia?".

Ayah terdiam sejenak, tampaknya berpikir. Setelah meneguk teh miliknya, Ayah menjawab. "Salman, ada beberapa hal yang mau Ayah sampaikan kepadamu". Ayah memperbaiki posisi duduknya, matanya fokus mengamati riak wajahku. "Apa itu, Ayah?" Aku pun ikut memperbaiki posisi dudukku karena sedikit pegal. "Kamu harus tau, perasaan suka yang kamu alami itu sangat wajar." "Kok wajar sih, Ayah?" Tanyaku sedikit bingung dan penasaran. "Kamu kan sekarang sedang dalam fase pubertas, sangat wajar kalau kamu menyukai lawan jenis." "Yang tidak wajar itu kalau kamu suka dengan sesama jenis." Canda Ayah diiringi kekehan. "Jika kamu menyukai lawan jenis, alhamdulillah, tandanya kamu normal."

Aku merenungi ucapan ayah. Apakah aku harus mengungkapkan rasa suka ini ke dia? Pikirku saat itu. "Tapi, Salman" Ayah melanjutkan ucapannya. "Bukan berarti kamu harus mengungkapkan perasaanmu ke dia". "Dan bukan berarti kamu harus berpacaran dengannya. Kamu tau sendiri bahwa pacaran itu haram kan?" Aku mengangguk. "Terus... bagaimana caranya kakak ngurusin perasaan ini?" "Kamu bisa salurkan lewat cara yang lebih positif, Salman" jawab ayah sembari menuangkan teh lagi ke gelas kami berdua. "Misalnya, kamu bisa ubah perasaan itu jadi cerita, atau lirik lagu, atau karya apapun" "Jadikanlah perasaan sukamu itu pendorong untuk membuat karya-karya yang positif". "Salman tahu Pidi Baiq kan?" Aku tahu siapa Pidi Baiq. Dia adalah pemusik yang lirik dan penulis buku yang eksentrik. Cara menulis dan karyanya yang menurutku aneh justru menjadi keunikan dia. "Dia mengubah perasaan sukanya itu menjadi lagu, dan lagunya didengarkan oleh banyak orang"

"Tapi, Ayah, kalau kakak ubah jadi lagu, kakak malu kalau masukin nama dia ke lagu" Terbayang jika teman-teman membaca lirik lagu ku dan mencie-ciekan aku dengannya. Ah, tak akan tertahan rasa malu-ku jika itu terjadi. "Ya kamu bisa ganti dia dengan nama samaran, misalnya dengan nama bunga. Kamu bisa aja ubah nama Nas jadi Mawar. Kamu tetap bisa menyampaikan rasa suka mu itu tanpa orang tahu siapa yang kamu sukai kan?" Aku mengangguk kembali, menyetujui saran dari Ayah. "Alhamdulillah...terimakasih Ayah sudah mau mendengarkan cerita kakak" aku berterimakasih kepadanya sambil tersenyum. Rasanya dadaku yang awalnya berat terasa meringan. "Santai saja, Salman. Inget kata kata Ayah. Suka dengan lawan jenis itu wajar, yang gak wajar itu suka dengan sesama jenis." "Kamu juga gak perlu menyampaikan perasaanmu kepadanya. Kamu bisa salurin perasaan kamu jadi karya. Entah itu lagu, puisi, ataupun karya lainnya. Paham, Salman?" "Paham, Ayah, sekali lagi makasih" Malam itu aku bisa tidur dengan nyenyak.

Setelah percakapan semi curhat itu, aku pun membuat lagu. Liriknya seperti ini.

Lupakan saja, mawar yang ada
Aku tertipu, sakit hatiku
Cinta yang semu, cinta yang palsu
Jangan tertipu, semua akan berlalu

Dan untuk lagu pertama ini, aku menyalurkan rasa cemburuku ketika Nas bicara dengan yang lain. Tapi, merasa kurang cocok kalau hanya keluhan isinya, aku tambahi beberapa bait terakhir:

Namun ada cinta sejati
Cinta kepada sang Ilahi
Yang cintanya tak akan palsu
Kepada-Nya kami merindu

Lagu itu tidak pernah selesai, tapi perasaan cemburu itu membuat lagu ini ada.

Walaupun sudah curhat dengan orangtua, menerima perasaan ini bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dengan rasa suka.

Setelah beberapa bulan, aku mulai menikmati perasaan ini. Ketika aku berada di dekatnya, dan hatiku berdebar-debar, aku menerima rasa hangat yang timbul di dadaku. Aku juga mulai bisa bercanda dengannya lagi, mengisengi dia dengan menjodohkannya dengan temansekelas. Aku juga mulai bisa menerima rasa cemburu yang ada, ketika dia mengobrol dengan murid terganteng di kelas. Nasihat Ayah sudah kuterapkan sedikit demi sedikit. Setidaknya, ketika aku bertemu dengannya, aku bisa merasa nyaman suka kepadanya.

Hingga pada suatu hari, saya pindah dari Hayat School dan terputuslah satu-satunya akses bertemu dengannya...

...Itu yang saya kira, tetapi takdir berkata lain. Aku masih dipertemukan dengannya pada komunitas videografi. Saat itu, dia direkrut untuk menjadi tokoh utama di film horror pendek kami. Dia menjadi protagonis dan aku menjadi antagonis. Masih teringat dibenakku betapa susah payahnya diriku untuk fokus karena harus menjaga kontak mata dengan Nas sambil membawa peran yang galak. Scene itu diambil sampai beberapa kali dan baruberhasil ketika diriku diizinkan untuk menatap ruang kosong.

Setelah itu, kami hampir tidak pernah bertemu lagi. Perasaanku kepadanya sedikit demi sedikit terkikis. Hingga akhirnya, ketika aku melihat foto dia di sosial medianya, aku sudah berhasil move on tanpa tersisa luka apapun.

---

Dari situ aku belajar bahwa jatuh cinta itu hal yang sangat wajar, apalagi di masa puber. Selama rasa itu muncul kepada lawan jenis, itu justru tanda bahwa kita normal. Memang rasanya sangat susah menerima perasaan ini. Seandainya bukan karena orangtua saya yang terbuka terhadap masalah anaknya, seandainya mereka menganggap bahwa "Kamu itu masih kecil, gak perlu mikirin cinta-cintaan", mungkin aku akan kesulitan cukup lama dengan perasaan ini, atau bahkan terjerumus untuk pacaran dengannya.

Selain itu, aku juga belajar, untuk menyalurkan perasaan ini dalam bentuk lirik lagu, puisi, dan tulisan lainnya. Sekarang, aku sudah bisa lebih dewasa dalam menyikapi perasaan ini. Aku juga menghasilkan beberapa lirik lagu via cinta monyet. Sebagai penutup, izinkan diriku menampilkan ref lagu yang merefleksikan diriku saat ini.

Sampai jumpa pelita
Sikapmu kusimak walau kau tak bercerita
'Kan ku rekam alkisah
Tentang seorang gadis diam sribu bahasa

#indonesia