Bahasa Ibu Turun Lewat Ayah
Menurut saya, bahasa adalah subjek yang menarik untuk dibahas. Dia adalah alat yang diwariskan oleh generasi demi generasi tanpa disadari. Keberadaannya sangat penting, karena dengan bahasa kita bisa berkomunikasi, bekerja sama, dan berinovasi.
Menurut beberapa sumber, ada 6000 lebih bahasa yang digunakan di belahan dunia hingga hari ini. Berdasarkan detik.com, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, dan sebanyak 90 persen tersebar di wilayah Indonesia timur. Sayangnya, bahasa juga bisa mengalami kepunahan. Hal itu bisa terjadi karena penggunaannya yang menurun, dan biasanya itu terjadi dari satuan sosial yang paling kecil, keluarga.
Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak dikenalkan bahasa yang diketahui oleh orangtuanya. Bicara tentang keluarga, kedua orangtua saya datang dari dua suku yang berbeda. Ayah berdarah sunda sedangkan Ibu saya berdarah jawa. Mungkin kalian berpikir, kalau orang tuanya beda suku, bahasa apa yang digunakan di rumah? Apakah anak-anaknya jadi bisa bahasa jawa & sunda? Jawabannya tidak. Dan ini alasannya mengapa kami tidak fasih menggunakan kedua bahasa daerah tersebut.
Di rumah, kami biasanya menggunakan bahasa Indonesia yang terkadang bercampur dengan bahasa Sunda. Ayah saya, sebagai orang Sunda asli, sangat fasih berbahasa Sunda. Namun, Ibu saya, yang lahir dan besar di Jakarta dengan darah Jawa, justru tidak bisa bahasa Jawa sama sekali.
Bahasa Sunda menjadi lebih akrab bagi saya karena diajarkan oleh Ayah, digunakan di sekolah, dan sering saya dengar dari teman-teman di lingkungan sekitar. Waktu SD, saya sebenarnya tidak begitu suka pelajaran bahasa Sunda. Saya mulai menyukainya ketika pindah sekolah, karena disitu bertemu dengan teman teman dan guru yang baik.
Berbeda dengan bahasa Sunda, bahasa Jawa cukup asing bagi saya. Pertama kali kenal bahasa jawa justru datang dari Ayah saya yang pernah kuliah di Jogja. Beliau memang sempat mengenalkan beberapa kata, tapi karena tidak ada lingkungan yang mendukung, saya tidak pernah benar-benar menggunakannya.
Penggunaan bahasa Sunda dalam keseharian saya dulunya cukup aktif, terutama ketika saya masih SD hingga SMA. Saya sering menggunakan campuran bahasa Sunda dan Indonesia saat mengobrol dengan teman-teman di lingkungan rumah, sekolah, dan pengajian. Saat itu, bahasa Sunda menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, sehingga terasa sangat alami.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama di masa SMA, penggunaan bahasa Sunda mulai berkurang. Sekarang, saya lebih pasif dalam menggunakannya. Kalau mendengar orang berbicara dalam bahasa Sunda, saya masih paham, jika orang itu banyak menggunakan sunda kasar. Tapi, kalau bahasanya sudah masuk tingkat halus, saya tidak akan paham sama sekali. Kalau saya harus bicara, saya kadang kesulitan menyusun kata-kata, meskipun masih bisa kalau lawan bicaranya menggunakan Sunda kasar.
Sementara itu, pengalaman saya dengan bahasa Jawa jauh berbeda. Sejak kecil hingga SMA, saya hampir tidak pernah menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Bahasa ini hanya muncul sesekali ketika Ayah bercerita tentang masa kuliahnya atau membahas sesuatu yang berhubungan dengan budaya Jawa. Dan kami hanya membahas beberapa kata, bukan percakapan penuh. Baru setelah saya berkunjung ke Yogyakarta bersama komunitas, saya sedikit lebih mengenal bahasa Jawa.
Berinteraksi dengan teman-teman online yang menggunakan bahasa Jawa juga sedikit membantu, meskipun tetap sangat jarang digunakan. Akibatnya, kosakata yang saya tahu terbatas pada beberapa kata sederhana seperti “ora iso” (tidak bisa), “nggeh” (iya), “dalem” (saya), “wani piro” (berani bayar berapa), dan kalimat “iki gane piro?” (ini harganya berapa?).
Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa penguasaan bahasa daerah sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Saya lebih mudah menggunakan bahasa sunda, karena saya tumbuh di lingkungan yang mendukung, sedangkan bahasa Jawa tidak bisa saya kuasai karena lingkungan sekitar saya tidak menggunakannya.
Walaupun saya sekarang belum fasih menggunakan kedua bahasa orang tua saya, hal itu tidak menghentikan minat saya untuk belajar dan menemukan komunitas yang sesuai agar bisa melatih kemampuan berbahasa daerah yang dimiliki kedua orang tua diri ini.
Pada akhirnya, saya merasa beruntung bisa mengenal dua bahasa daerah yang berbeda, walaupun tidak fasih menggunakannya. Bahasa daerah adalah bagian penting dari identitas budaya kita, dan saya berharap generasi selanjutnya tetap punya kesempatan untuk belajar dan melestarikannya, agar kekayaan bahasa di Indonesia tidak hilang begitu saja.